Mengungkap Kegagalan Bisnis 7-Eleven - Seluruh gerai 7-Eleven (Sevel) yang dikelola oleh PT Modern International Tbk melalui anak usahanya, PT Modern Sevel Indonesia telah dipastikan akan tutup sejak bulan lalu. Hal ini cukup mengejutkan, karena 7-Eleven sempat membuat heboh masyarakat, khususnya di Ibu Kota Jakarta.
Bahkan sebelumnya banyak yang menilai 7-Eleven sebagai pahlawan inovasi. Alasannya, convenience store tersebut mampu memberi terobosan inovasi bagi industri ritel Indonesia yang kekurangan ide-ide bisnis segar.
Menurut ulasan lembaga pemeringkat Fitch Ratings, meruginya 7-Eleven antara lain karena beban sewa gerainya terus meningkat. Meski 7-Eleven telah menutup sekitar 40 toko dari lebih 185 gerainya dalam periode 2015-2016, namun ternyata beban jaringan convenience store itu terus meningkat.
“Gerai 7-Eleven memiliki pengeluaran sewa yang lebih besar dibandingkan convenience store lainnya karena menawarkan area untuk duduk bagi para konsumennya, sehingga membutuhkan area toko lebih besar,” sebut Fitch dalam laporannya yang dikutip Bisnis Indonesia.
Tingginya biaya sewa 7-Eleven juga karena sebagian besar gerainya di Jakarta berlokasi di daerah utama yang menerapkan biaya sewa tinggi.
Tak hanya itu, menurut Fitch penutupan sejumlah gerai 7-Eleven secara bertahap mulai 2015 juga terjadi setelah Kementerian Perdagangan melarang penjualan minuman beralkohol di ritel modern di minimarket dan convenience store pada April 2015.
Padahal, penjualan minuman beralkohol menyumbangkan 15 persen pendapatan Modern Internasional.
“Hal ini ditambah lagi dengan tidak jelasnya perbedaan antara 7-Eleven yang berupa convenience store dengan rumah makan cepat saji (fast food) dan restoran berukuran medium di Indonesia,” lanjut lembaga itu.
Model bisnis dan risiko yang ditanggung 7-Eleven disebut serupa dengan yang dihadapi restoran karena gerai-gerainya menawarkan makanan dan minuman ready-to-eat lengkap dengan area untuk duduk serta jaringan internet gratis. Akibatnya, Sevel mendapat persaingan ketat dari restoran cepat saji dan warung makan tradisional, yang sangat populer di Indonesia.
Di sisi lain, risiko bisnis ini sangat berbeda dengan minimarket seperti Alfamart dan Indomaret yang menekankan penjualan produk groceries. Dua minimarket ini pun sudah mempunyai jaringan yang sangat luas di seluruh Indonesia, sehingga menjadi kekuatan yang tidak dimiliki Sevel.
Akibat dari kenaikan beban biaya, Modern Internasional pada kuartal pertama tahun ini mengalami kerugian sebesar Rp 477 miliar. Kerugian tersebut mencapai lebih dari separuh kerugian perseroan pada sepanjang tahun lalu yang mencapai Rp 663 miliar. Sumber : www.beyond-banking.co
Read more ...
Bahkan sebelumnya banyak yang menilai 7-Eleven sebagai pahlawan inovasi. Alasannya, convenience store tersebut mampu memberi terobosan inovasi bagi industri ritel Indonesia yang kekurangan ide-ide bisnis segar.
Menurut ulasan lembaga pemeringkat Fitch Ratings, meruginya 7-Eleven antara lain karena beban sewa gerainya terus meningkat. Meski 7-Eleven telah menutup sekitar 40 toko dari lebih 185 gerainya dalam periode 2015-2016, namun ternyata beban jaringan convenience store itu terus meningkat.
“Gerai 7-Eleven memiliki pengeluaran sewa yang lebih besar dibandingkan convenience store lainnya karena menawarkan area untuk duduk bagi para konsumennya, sehingga membutuhkan area toko lebih besar,” sebut Fitch dalam laporannya yang dikutip Bisnis Indonesia.
Tingginya biaya sewa 7-Eleven juga karena sebagian besar gerainya di Jakarta berlokasi di daerah utama yang menerapkan biaya sewa tinggi.
Tak hanya itu, menurut Fitch penutupan sejumlah gerai 7-Eleven secara bertahap mulai 2015 juga terjadi setelah Kementerian Perdagangan melarang penjualan minuman beralkohol di ritel modern di minimarket dan convenience store pada April 2015.
Padahal, penjualan minuman beralkohol menyumbangkan 15 persen pendapatan Modern Internasional.
“Hal ini ditambah lagi dengan tidak jelasnya perbedaan antara 7-Eleven yang berupa convenience store dengan rumah makan cepat saji (fast food) dan restoran berukuran medium di Indonesia,” lanjut lembaga itu.
Model bisnis dan risiko yang ditanggung 7-Eleven disebut serupa dengan yang dihadapi restoran karena gerai-gerainya menawarkan makanan dan minuman ready-to-eat lengkap dengan area untuk duduk serta jaringan internet gratis. Akibatnya, Sevel mendapat persaingan ketat dari restoran cepat saji dan warung makan tradisional, yang sangat populer di Indonesia.
Di sisi lain, risiko bisnis ini sangat berbeda dengan minimarket seperti Alfamart dan Indomaret yang menekankan penjualan produk groceries. Dua minimarket ini pun sudah mempunyai jaringan yang sangat luas di seluruh Indonesia, sehingga menjadi kekuatan yang tidak dimiliki Sevel.
Akibat dari kenaikan beban biaya, Modern Internasional pada kuartal pertama tahun ini mengalami kerugian sebesar Rp 477 miliar. Kerugian tersebut mencapai lebih dari separuh kerugian perseroan pada sepanjang tahun lalu yang mencapai Rp 663 miliar. Sumber : www.beyond-banking.co